Hei teman
Kau tahu, kau itu sangat pahit
Sangat pahit sepahit buah simalakama
Tapi, kau bahkan tak tahu betapa pahitnya dirimu
Sangat pahit, tahu!
.
.
.
Datang saat kau butuh diriku
Pergi saat kau tak butuh diriku
Itulah dirimu, teman
Aku hanya bagai habis manis sepah dibuang
Yah, meski kau harus tahu, semua aku tahan
Kutahan demi pertemanan pahit ini, tahu!
.
.
.
Luka
Luka tertoreh di hati
Mengucurkan darah kebencian yang pekat
Mengeluarkan sakit tertahan, tertumpuk dan terendap
Semua karena sikapmu, teman
Sikapmu yang sangat menyayat hati
Dan sekali lagi—
—sangat pahit
.
.
.
Mereka pergi, kau ingat diriku
Mereka dating, kau lupa diriku
Lupa
Lupa lagi denganku
Apa kau tak mengingatku saat kau bersama mereka?
Apa kau tak menginginkanku bersama kalian?
Miris dan—
—pahit
.
.
.
"Kalau sudah giliranmu, nanti, kamu gantian yang nraktir kita!"
Sepenggal kalimat tak terwujud
Sepenggal kalimat yang hanya jadi kenangan
Yah, karena 'aku' sudah tak termasuk dalam kata 'kita' lagi
Kamus hidupmu menghilangkan daftar namaku dari daftar pengisi kata 'kita'
Yah, karena mungkin kau sudah tak menganggap lagi aku adalah—
—bagian dari frasa 'kita' yang dulu
.
.
.
Sudah
Aku sudah tak mungkin kau anggap teman
Dan lagi, aku tak masalah kau anggap musuh
Kita perang?
Musuhan?
Bagiku tak masalah
Tapi—
.
.
—aku tak menginginkannya
Yang kuinginkan hanya perhatianmu yang dulu
Yang sering kau tunjukkan kepadaku
Yang sering kau berikan kepadaku
Yang kini—mungkin—tak dapat—
—kuperoleh lagi
.
.
.
"Kalian adalah temanku,"
Sepenggal kalimat yang membuatku mengasihani diriku
Sesal
Kata itulah yang kemudian melayang di pikiranku
Yah, menyesal karena telah mengucapkan hal itu padamu
Merutuki diri
Hal yang terjadi setelah kuucap kata sesal nista itu
Yah, merutuki diri karena betapa bodohnya diriku bisa ditipu teman pahit macam dirimu
.
.
.
Teman,
Sudahkah kau sadar akan semua kesalahanmu itu?
Sudahkah kau mengerti bahwa aku disini terlupakan olehmu
Meski aku menutupi semua dengan topengku
Meski aku menutupi semua itu dengan senyum simpulku
Apakah kau tak bisa melihat wajahku yang sebenarnya?
Apakah dengan segala macam coretan di atas, kau tetap—
—tak sadar?
Dan setelah kau membaca segala rangkaian huruf di atas,
Apa yang akan kau lakukan?
.
"Maaf ya, kalau selama ini aku kayak gitu ma kamu,"
Bah!
Nggak mempan!
.
"Kalau emang kami begitu, ngomong dari dulu, jangan nulis kayak gini,"
Ku berkata pun, kau takkan mendengarnya, bukan?
.
"Aku nggak akan ngulangi lagi kok! Janji!"
Bah!
Aku tidak mempan dengan janji-janji yang kau buat
Aku justru bosan dengan janji-janji—nista—mu itu
Yang kupercayai, kau pasti akan mengulanginya lagi
.
.
.
Yah, kau takkan bisa membuatku berhenti membencimu
Kau takkan bisa membuatku memaafkanmu
Kau takkan bisa membuatku—
—menganggapmu teman lagi
.
.
.
Nah, teman
Kau sudah tahu betapa pahitnya dirimu bukan?
Sayang, kau bahkan tak mengetahui kepahitan dirimu itu
Sungguh ironis
Padahal dulu kau kuanggap teman yang manis
Apakah rasamu itu harus seperti berry,
Manis dan pahit?
.
.
.
Teman
Mungkin kau pernah menjadi teman baikku
Kau pernah menjadi teman manisku
Yah, sangat manis bahkan sampai membuatku meleleh
Meski akhirnya, aku harus menderita diabetes karena manismu yang berlebihan
Membuatku harus merasakan pahit sepahit jamu brotowali
Dan mungkin aku harus meralat kembali kata "temanku" itu
Yah, bukan kata "temanku" lagi
Tapi—
.
.
.
.
.
.
—"Teman Pahitku!"
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar