"Kenapa dia nggak masuk tenda ini?" Tanya Shilla.
"Karna dia berkhianat?" Tanya Gabriel.
"loe nggak boleh kaya gitu. Mungkin saja ini merupakan rahasia Ify dan dia tidak mau ada yang mengetahuinya begitu saja. Mungkin dia punya alasan lain" Kata Sivia yang mendukung Shilla.
"loe juga Alvin. Kenapa loe nggak ngajak dia masuk? gaimanapun juga dia kan adik loe" Kata Rio yang tidak ingin disalahkan.
"Dia itu bukan urusan gue. Kalau kalian mau mengajaknya dan memaafkannya silahkan saja. gue tidak peduli. Selamatkan dia dan diam. Selesai, kan?" Alvin berbicara santai dan mempersiapkan dirinya untuk tidur.
"gue nggak tau apa yang kalian permasalahkan. Tapi, loe berubah saat menyangkut Ify. loe jadi kasar dan tidak peduli. Sebegitu bencinya loe ama adik loe sendiri?" Tanya Rio.
"Oke, gue yang akan ngejemput dia" Kata Alvin dan berjalan menuju Ify yang menundukkan kepalanya.
"Kami akan ngeliat loe dari sini" Kata Sivia.
Ify tetap tidak mangadahkan kepalanya saat tangan Alvin menyentuk bahunya. Dia tetap diam. Sifat Ify yang seperti ini membuat Alvin bingung. Biasanya, Ify menurut dan langsung tau apa yang dimaksud kakaknya.
Alvin menyeritkan alisnya saat melihat tubuh basah Ify yang menegang. Memang, hujan sudah tidak terlalu besar. Namun, petir masih menari lincah diatas sana.
"Hei, loe bisa mati kedinginan disini" Kata Alvin kencang, berusaha menyamakan suaranya dengan cuaca yang ada disekitarnya.
"Bukannya kalau kaya gitu loe akan bahagia? Bukannya itu yang kalian semua mau?" Tanya Ify serak.
"loe bicara apa?" Alvin mulai bingung melihat perubahan pada adiknya.
"loe nggak tau gue. loe ngebenci gue. Semua ngebenci gue. Semua ngehianatin gue. Waktu itu hujan. Waktu itu berdarah. Waktu itu gue kehilangan. Waktu itu kalian berubah. Waktu itu gue tau semua. Waktu itu.."
"Stop! loe bicara apa sih? loe kenapa? Apa gue nyakitin loe? Ify…" Alvin miris melihat adiknya seperti itu.
"loe… bahkan nggak tau bagaimana perasaan gue. loe nggak tau apapun tentang gue" Ify memperlihatkan wajahnya yang penuh dengan air mata.
"Kalian natap gue dengan mata kalian yang ngebuat gue merinding takut. Kalian mojokin gue. Tau nggak kalian apa yang gue rasakan? Sakit! Bagaimana kalau loe ada di posisi gue? gue lelah nahan perasaan ini. gue lelah membuat topeng yang selalu tegar! Gue capek. gue mau kasih sayang. gue mau seorang kakak yang peduli ama gue. gue mau adik yang ngerti gue. Gue mau ayah yang ngasih gue kasih sayangn. Tapi itu hanya mimpi, kan? Sekarang loe pergi gitu saja. Kalian ngebuat gue ngerasaiin rasa yang sama. Tanpa kalian tau apa alasan gue. Tanpa kalian tau apa yang terjadi sebenarnya… Gue bingung…" Ify berteriak histeris. Dia menumpahkan perasaannya. Dia membuka rahasia hatinya.
"Gue…" Alvin mulai merasa perasaan yang benar. Ini salah. Selama ini salah. Seharusnya dia melindungi adiknya tak peduli apa kesalahannya.
"Bahkan gue bingung. Siapa loe dalam hidup gue" Ify mengucapkan kata itu dengan lirih.
"Ify…" Alvin mulai tertohok dengan perkataan Ify. Itu semua benar.
"Gue bingung, gue ini apa? Apa mungkin gue hanya ilusi semu yang nggak kalian anggap? Terkadang… gue ingin ibu ngejemput gue" Ify tertawa kecil.
Alvin memeluk Ify dengan erat. Dia tau sekarang mana yang benar. Dia tau, hati kecilnya benar mengenai Ify. Dia mencium pucuk kepala Ify. Hal yang sudah 10 tahun tidak dia lakukan. Bau mawar tercium disana. Bau yang seperti ibunya.
"Maaf" Alvin memeluk adiknya sambil menggumamkan kata itu.
"gue nggak mau maaf loe! gue nggak butuh apapun. Gue cuma butuh pengertian" Ify menangis didalam dada bidang kakaknya. Berusaha menumpahkan segala beban yang dia rasa selama 10 tahun ini.
"udah Ify. loe masuk. Kita akan berbicara didalam tenda. Dan… gue minta maaf…" Rio ternyata sudah ada disebelahnya, menyaksikan apa yang dilakukan Ify dan Alvin membuat dadanya panas. Walaupun Ify dan Alvin adalah kakak-adik.
"Gue nggak marah… Gue nggak mau masuk kedalam sana. Gue mau pulang aja. Gue mau ketemu ibu" Ify sudah berbicara semakin kacau.
"Kami akan ngejagaiin loe. Kami tidak kan mengulanginya lagi. Ayolah Ify. Kita harus meluruskan hal ini" Kata Shilla sambil memeluk Ify lembut.
"Berbicara seperti ini tidak akan selesai" Kata Alvin sambil menggendong adiknya.
Perlahan mata Ify menutup. Nafasnya masih memburu. Tekanan ini lagi. Mereka bilang akan melindungi Ify. Mereka bilang akan menjaganya. Ify tersenyum tipis dan benar-benar berjumpa dengan gelap.
"Bagaimana Shilla?" Tanya Alvin. Sekarang, dia benar-benar merasa bersalah. Ify tidur dengan wajah yang pucat disana. Tubuhnya dingin.
"Tidak usah khawatir, dia hanya demam tinggi. Dia dingin seperti ini karna kehujanan tadi. Tapi, apa loe bisa nyeritain apa yang terjadi dengan keluarga kalian?" Tanya Shilla.
Rio terdiam menatap Alvin yang diam. Suasana sepi. Tak urung juga dia merasa bersalah. Hanya karena Ify menyembunyikan sesuatu dan dia anggap keterlaluan? Sekarang dia menyelimuti Ify yang sekarang menggunakan baju hangat. Tadi, Shilla dan Sivia yang mengganti bajunya. Sekarang, dia mendengarkan apa yang akan dijelaskan Alvin. Apa yang menyebabkan semua begini.
"Ibu meninggal saat Ify berusia 5 tahun. Kami nggak tau apa yang terjadi. Tapi, kami melihat ibu yang sekarat dan Ify yang berlumuran darah. Mereka dalam keadaan tidak sadar. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, ibu meninggal. Ify koma selama seminggu. Saat dia sadar, dia meminta bertemu ibu. Gue ingin dekat ama dia dan memberitau kabar duka itu. Tapi, ayah mencegah. Semuanya berubah saat itu. Deva dan ayah sangat membenci Ify karna mereka berfikir, Ify yang menyebabkan ibu pergi. Semula gue nggak membencinya. Namun, entah sejak kapan perasaan itu memasuki hati gue. Gue dan yang lain menganggapnya tak ada. Keadaannya benar-benar berubah saat ibu meninggal. Dia menjadi pemurung. Dia dikhianati temannya. Itu yang menyebabkan dia nggak mau menjadi Alyssa Saufika Sindunata yang hanya akan dikhianati temannya. Dia tidak mau dikhianati lagi. Pekerjaan rumah dia yang mengurus. Bahkan, dia menjadi sasaran pelampiasan ayah atas kematian ibu. gue, nggak tau kenapa gue nggak mau menolongnya. Gue benar-benar nggak ngerti" Alvin mulai menunduk, pandangannya menyendu.
"Tapi, kalian menemukannya dalam keadaan seperti itu bukan berarti dia salah. Selamat tuan Alvin, kau telah merusak hidup adikmu sendiri" Kata Sivia.
"Seperti kalian tadi, saat Rio memarahinya. Saat yang lain meninggalkannya. Apa kalian pikir ini hanya kesalahan satu orang saja. Kalian juga salah" Kata Gabriel.
"Ia, Gabriel benar…" Desis Rio.
" gue janji akan menjadi kakak yang baik, gue janji akan melindunginya. Tapi, entah mengapa gue ngerasa nggak pantas untuk itu" Alvin terlihat menahan air mata.
"Kalau gue tau gue salah, kalau gue tau dia seperti ini, gue nggak akan kaya gini" Alvin menunduk.
"Gue yang bakal ngejaga dia. Mari kita jaga dia sama-sama. Alvin, lebih baik terlambat dari pada nggak sama sekali" Kata Rio.
'Gue juga ngerasa sangat bersalah. Kaya loe juga, Alvin. gimana bisa gue ngebuat orang yang sangat special ini menjadi sedih?' Kata Rio dalam hati.
"Sebaiknya kita jangan mengganggunya dulu. Dia kelelahan. Shilla, tolong beri dia obat penurun panas ya. Gue keluar dulu." Rio melangkahkan kakinya. Sebelum benar-benar tak terlihat, dia memandang Ify lembut.
' Loe... gue bakal ngejaga loe, Ify. Gue janji itu. Dan gue harus menyatakan perasaan ini. Tunggu gue Ify!' batin Rio.
"gue benar-benar harus mengatakan perasaan ini. Tapi, gue takut" Rio sibuk berfikir.
"loe ngapain, io" Tanya Gabriel yang melihat temannya berbicara sendiri.
"Lagi ngeden. Ya enggaklah, lagi ngomong sendiri. Loe gila ya? Udahlah, pergi dulu" kata Rio.
' Lah, bukannya yang gila dia?' tanya Gabriel dengan tampang bingung. Mungkin, karena tidak mau berfikir terlalu keras eh, dia pergi juga. Mungkin, dia mau ketemuan sama seseorang. Yah... You-know-lah.
Sementara itu, Ify mengusap-usap matanya. Senyuman tak nampak diwajahnya. Dengan cepat dia mengetahui dimana dia berada.
' Kak Alvin pasti yang ngebuat tenda ini' batin Ify.
Ify membuka tasnya dan mengambil kotak obatnya. Matanya membesar dan menatap horor pada butir obat yang ada didepannya.
' Dokter itu berniat menyembuhin gue gak sih?' tanyanya dalam hati.
Walau agak ragu, dia menelan pil besar itu. Setelah menelan benda-yang-katanya-obat itu, dia mengambil bajunya dan berjalan menuju sumber air terdekat, tentunya untuk mandi. Entah mengapa sekilas kejadian kemarin melintas dibenaknya. Dia melihat tangannya yang masih lebam dan mengusapnya. Mungkin dia harus pulang ke asrama kembali.
Sengaja atau tidak, dia melihat Shilla berdiri didepannya. Shilla mengirimkan senyuman kecil padanya. Namun, Ify dengan santainya membuang muka dan melanjutkan kegiatannya dengan pandangan kosong. Tentu saja Shilla sangat merasakan perubahan sikap Ify.
Shilla dengan cepat kembali ke tenda dan mengajak teman-teman yang lain berkumpul.
"Oke teman-teman, kita berkumpul disini untuk membicarakan Ify yang sepertinya sedang marah besar." Kata Shilla membuka rapat kecil-kecilan mereka.
"Jadi dia ngambek? Kenapa bisa? Biasanya Ify tidak mengenal kata marah selama gue jadi kakaknya" Kata Alvin.
"Pertahankan ya, Alvin. Ify pasti akan senang kalau dia tau loe udah berubah kaya dulu lagi" Kata Shilla sambil tersenyum.
"Jadi loe nyindir gue? Tapi seingat gue, setelah dia mendengar petir dan hujan seperti kemarin, dan... yah keadaanya seperti kemarin dia akan lupa segalanya. Kecuali kematian ibu. Dan oh, Ify dulu kalo marah, gue akan angkat tangan" Kata Alvin.
"Emang kalo Ify marah seremnya kayak apa?" Tanya Sivia.
"Dia diem terus sampe sebulan. Yah, sebulan itu waktu paling cepat sih. Pernah waktu itu dia nyuekin resennya setahun lebih. Terus kalo udah marah dia jadi galak banget. Gue sendiri yang kakaknya aja gak berani." Kata Alvin Luas (INGAT! Panjang x Lebar = Luas).
Teman-teman yang lain ngangguk-ngangguk. Kemudian, Ify masuk ke tenda dan mengambil benda-entah-apa-itu dan keluar begitu saja. Teman-temannya yang lain merinding melihat aura Ify yang suram.
"Shilla, coba loe jelasin, gimana kejadian waktu loe ketemu sama Ify tadi." Tuntut Gabriel.
"Jadi gini, pas gue mau ngambil air, gue ketemu Ify yang kayaknya mau cuci muka. Sebenarnya udah kerasa sih, aura Ify yang dingin banget. Tapi, gue sapa aja. Eh… pas nyapa dia malah ngebuang mukanya abis itu pergi gitu aja" Jelas Shilla.
"Ayo kita pungut" Teriak Gabriel.
"Hah? Pungut Apaan?" Tanya Rio yang akhirnya berbicara setelah sekian lama diam.
"Ya pungut mukanya Ify lah, masa muka dibuang sih?" Jawab Gabriel dengan polosnya.
BLETAK
"iel bodoh! Maksudnya itu langsung pergi gitu aja" Kata Shilla sesudah puas menjitak Gabriel.
"Maaf, gue kan gak tau. Tapi jangan jitak-jitakan dong. Sakit…" Dengus Gabriel.
"Jadi mau dilanjutin gak nih?" Tanya Rio. Yang lainnya mengangguk.
"Sini-sini, gue bisikin" Kata Alvin. Yang lainnya mendekati Alvin dan mulai bisik-bisikan gak jelas.
Sementara itu, Ify memandang awan. Sesekali teriakan burung gagak mengganggunya. Tapi, mana peduli dia dengan hal seperti itu. Dia sibuk memandang sesuatu yang ada diatas sana. Tampaknya seperti manusia. Sesosok itu memakai pakaian hitam dan menatap Ify, seakan memanggilnya. Ify tersenyum tipis dan berdiri. Lama-kelamaan sosok itu lenyap, hilang. Ify berjalan menuju tendanya dengan senyum ganjil.
Namun, Ify membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju tenda teman-teman sekolahnya. Sampai disana, dia menuju tenda guru, kemudian memasukinya. Kini, bu-Ira ada didepannya, menatap bingung kearahnya.
"Ada apa Alyssa Saufika Umari?" Tanya kepala sekolah itu ramah.
"Bu, jangan panggil aku Alyssa Saufika Umari lagi. Sekarang, anak band Asrama sudah mengetahuinya. Aku yakin, berita ini pasti akan menyebar. Jadi bu, jangan panggil saya dengan nama itu" Kata Ify mencoba ceria.
"Bukankah namamu memang Alyssa Saufika Umari? Ada apa ini sebenarnya" Tanya bu-Tsunade dengan alis yang menyatu, sepertinya beliau bingung.
"Mari kita ulang dari pertama bu, perkenalkan, nama saya ALYSSA SAUFIKA SINDUNATA. Senang berkenalan dengan anda" Kata Ify sambil mengulurkan tangannya.
Pertamanya, wajah bu-Ira bingung, tak lama kemudian, wajahnya terkejut, kemudian dia menggenggam tangan Ify penuh rasa hormat. Senyuman tulus menyertainya.
"Akhirnya kau mengakuinya juga. Selamat datang Alyssa Saufika Sindunata. Kami senang, anda mau mengikuti pembelajaran di asrama Venix ini. Sekaligus mengikuti acara rekreasi ini" Kata bu-Tsunade dengan hormat.
" Terima kasih. Tapi, kenapa anda tau saya Alyssa Saufika Sindunata? Siapa saja yang sudah tau, bu?" Tanya Ify dengan wajah bingung.
"Guru yang mengajar sudah tau semua. Mungkin, hanya teman-temanmu saja yang tidak mengetahuinya. Kami semua senang, dua orang yang berpengaruh di Jepang ini masuk asrama kami. Dan, siapapun tau anda adalah anak Duta Sindunata, terutama kami yang sudah dewasa ini." Bu-Tsunade menjelaskan panjang lebar.
"Baiklah kalau begitu, saya undur diri dulu, bu" Kata Ify sambil membungkukkan badannya, kemudian dia keluar dari tenda itu.
'Wah-wah-wah, ternyata actingku kali ini diketahuinnya ya.' Batin Ify sambil tersenyum miris.
Sambil bersenandung kecil, Ify berjalan menuju tendanya. Setelah sampai, dia mengambil sebuah foto kusam yang selalu dibawanya. Matanya terlihat sedih saat melihat wajah wanita cantik dalam foto itu.
'Kenapa Ibu gak ngajak aku pergi ke surga?' tanyanya dalam hati.
"Kalau begitu, biar gue sendiri yang akan menghampiri Ibu..." Desisnya lirih.
Ify mengambil cutter yang ada dalam tasnya, dia mengancungkan cutter itu tepat diatas nadinya. Saat ingin mengiris nadinya, tangannya berhenti sesaat. Batinnya mulai ragu dan dia tersenyum tipis.
'Mungkin saja, jika ku iris urat ini dalam-dalam, tidak akan terlalu sakit' batinnya.
Pisau itu menggores kulit tannya, dia meringis tertahan. Rasa nikmat membawanya untuk membuat irsan baru. Namun, semua irisan itu tak terlalu dalam. Rasa sakit itu menjelma menjadi kenikmatan tersendiri.
'Aku ingin satu goresan terakhir yang akan mengakhiri drama ini' katanya sambil tersenyum sedih.
Tangannya mulai bekerja. Namun, kali ini bukan nikmat yang dia rasakan, sakit yang menyergapnya. Sebelum melukai uratnya, dia membuang cutter itu jauh-jauh. Matanya menatap nanar pada cutter itu.
'Apa yang tadi gue lakuin ? Bunuh diri?' katanya ngeri.
Dia memungut cutter itu dan membersihkannya. Untuk menghilangkan bukti, dia membuang cutter itu jauh-jauh. Mungkin sudah tenggelam dalam laut, saking jauhnya dia membuang cutter itu.
Dengan sigap Ify membersihkan lukanya dan membalutnya dengan kassa. Erangan kesakitan terdengar darinya. Dia menekuk lututnya. Matanya menarawang jauh keluar sana.
'Apa yang tadi gue lakuin? Bunuh diri? Che, gue sepengecut itu? Gue nggak boleh mati sekarang, gue harus ngejalanin hidup yang tak lama ini. Aku harus bisa membuat bangga ayah. Aku harus turuti kemauannya. Aku harus membuktikan pada dunia bahwa seorang Alyssa Saufika Sindunata bisa' semangatnya dalam hati.
Setelah membalut lukanya dengan perban, Ify merapikan penampilannya dan berjalan menuju tenda teman-temannya. Dengan tampang tak berdosa dia masuk dan duduk ditengah-tengah teman-temannya, membuat teman-temannya heran dan menjauh sebentar.
"Ada yang salah disini? Lanjutkan saja pembicaraannya. Apa gue gak boleh ikutan?" tanya Ify sambil memandang teman-temannya santai.
"Err... loe gak marah Ify?" tanya Rio ragu.
"Menurut kalian?" Kata Ify dengan pandangan melembut.
"Dasar, gue kira loe marah ama kami" Shilla tersenyum senang dan memeluk Ify dengan erat.
"Lagipula, waktu gue kan gak banyak." Lanjut Ify.
"Hm? Waktu? Apa maksudnya?" tanya Alvin sambil menatap tajam adiknya.
"Ia, nanti takutnya gue gak bisa sekelas lagi sama kalian. Gue gak mau pisah sama kalian. Sebentar lagi kan kenaikan kelas" kata Ify.
'Dan sebentar lagi waktunya gue pergi ke tempat ibu...' lanjutnya dalam hati.
"Hahaha... Berarti apa yang dibilang Alvin ada benernya juga dong? Ya gak vin" Kata-kata Ray berhenti saat dia melihat Alvin sibuk tidur.
BLETAK...
"Jangan sibuk tidur, bodoh!" Omel Sivia sambil menjitak Alvin.
"Jadi, gimana sama guru dan teman-teman yang lain? Udah pada tau?" Tanya Rio serius.
"semua guru udah tau dari pertama masuk. Paling besok heboh aja anak-anak. Toh, itu bukan masalah besar, kan? Udah dulu deh santainya, kita rekreasi dulu" Ajak Ify.
"Boleh, ayo" Sivia dengan cepat menyetujui usul Ify.
"Tapi, impas ya?" Tanya Ify.
"Hm? Impas apanya?" tanya Rio bingung.
"Ia, kalian bohongin gue, gue juga. Hehehe" Kata Ify sambil nyengir.
"Dasar loe. Ia deh kita semua kalah. Gimana kalo kita ke pantai lagi abis itu ngobrol-ngobrol disana?" Ajak Gabriel.
"Boleh. C'mon guys" kata Ify dengan kelewat semangat.
'Dasar, dia sudah kembali seperti semula?' batin Rio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar