Seorang wanita cantik duduk berhadapan dengan Ify. Rautnya sangat tegang, memandang Ify dengan sangat tajam. Sesekali dia menghela nafas dengan kasar. Dia melihat Ify dengan perasaan yang bercampur aduk. Antara kesal, marah, sedih, kecewa. Ify hanya bisa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata dokter cantik yang ada didepannya. "Huh. Ify, sudah berapa kali aku bilang? Jangan lupa minum obat. Kamu ingat tapi bukannya meminumnya malah membuangnya. Lihat dirimu sekarang! Kondisimu memburuk." kata dokter muda itu, menahan emosi. " Sudahlah. Sekalinya mati tetap akan mati. Terserah takdir saja, dokter Winda" jawab Ify dingin. BRAK " Ify, itu namanya bukan pasrah, tapi bunuh diri. Kapan sih kamu mau berhenti bersikap semaumu? Apa tugas yang aku berikan sudah?" tanya dokter Winda. "I... Itu Belum. Lagipula mana mau ayah peduli padaku? Bahkan adikku saja benci padaku. Hanya kakak yang mau peduli. Tapi kau tau? Dia itu tipikal orang yang dingin. Dan tentu saja penyakitku ini hanya akan jadi rahasia kita berdua." jawab Ify sambil tersenyum pahit. Dokter Winda menghela nafas pasrah dan memulai kegiatannya. Dokter Winda, sesosok yang sudah menjadi keluarga bagi Ify. Hanya dia yang tau bagaimana hidup seorang Ify. Seorang anak gadis yang sangat haus akan kasih sayang. Setelah selesai menulis resep obat, dia memberikan kertas itu ke Ify. "Aku mohon Ify, kamu harus minum obat ini. Siapa tau ini akan memperpanjang waktumu. Setidaknya, ini akan menghilangkan rasa sakit." terang dokter Winda sambil tersenyum, menunggu anggukan Ify. Wajah sang dokter tersenyum puas saat melihat pasiennya menganggukan kepalanya. Tanpa basa-basi, Ify keluar dengan bentakan pintu. Melihatnya, dokter Winda hanya menggeleng maklum. Ify hanya bisa menghela nafas pasrah. Hari sudah mulai gelap, bintang bersinar sangat indah. Sang rembulan menjadi saksi nyata kerapuhan gadis itu, menyaksikannya menangis dalam sunyi. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya dia sampai didepan asrama. Sekarang sudah jam sepuluh malam, waktu untuk tidur. Asrama ini sangat disiplin. Besok, harusnya menjadi hari yang menyenangkan. Dia masuk kelas baru dan akan gladi resik untuk acara di asramanya itu. ' Huh' Ify menghela nafas berat. "loe disini, cewek bodoh?" suara berat itu menariknya kealam sadar. Biasanya, Ify akan menendang atau membalas perkataan Rio. Tapi, moodnya benar-benar tidak baik. Dia hanya tersenyum sebentar dan menarik Rio menuju taman, mendudukkannya dan menghela nafas pasrah. "Besok, boleh nggak gue izin buat enggak latihan?" tanya Ify dengan tampang memelas "nggak" Jawaban itu membuat Ify putus asa. Memang, dia mau mati sekarang saja. Tapi, ada cita-cita yang harus dicapai. Mau apa lagi? "gue pamit dulu. Besok gue agak terlambat. Sampaiin salam gue ke Alvin dan bilang maaf. Sampai jumpa" Ify yang sudah tidak sanggup menahan air matanya akhirnya berlari menuju kamarnya. Dia menutup pintu kamar dan membanting tubuhnya diatas kasur empuk. Menjerit sekerasnya dibawah bantal, itu yang bisa dia lakukan. Sampai akhirnya, dia masuk ke alam mimpinya. Bermimpi, akan harap yang bersinar. Kelas 2-A merupakan kelas eksekutif. Yang ada disana hanyalah anak kaya dan jenius. Rio, yang baru saja masuk kelas langsung dikerumuni gadis-gadis cantik. Biasalah, kalau tidak ajakan makan bersama, foto bersama atau meminta tanda tangan. Ray, Gabriel, dan Alvin tidak lebih baik nasibnya pagi ini. Mereka dikerumuni gadis-gadis yang sadis. Laki-laki yang ada dikelas berkerumun dibelakang, membicarakan sesuatu. Tapi, nampaknya itu bukan rahasia karena mereka berbicara dengan suara yang keras, membuat perhatian gadis-gadis yang ada dikelas mau tak mau ikut mendengarkan perbincangan mereka. "Katanya, nanti ada anak baru, ya? Laki-laki atau perempuan?" "Katanya perempuan. Tuh, Rio and the genk kan udah pada tau. Tanyain aja!" celetuk Shilla. Para laki-laki sibuk mendesak Rio, Alvin, Gabriel, dan Ray. Yang wanita mendesak Shilla yang termaksud genk Rio. Saat sedang heboh-hebohnya, wali kelas mereka masuk dengan wajah gembira. Seperti biasa, serempak mereka duduk ditempat masing-masing. "Anak-anak, sekarang kita mendapatkan teman baru. Ayo, silahkan masuk." Seorang gadis cantik berambut hitam panjang masuk dengan langkah anggun. Para laki-laki menahan mimisan, termaksud Rio and the genk. Para wanita mengagumi sosok putih yang ada didepan, tapi mereka menutupinya dengan lirikan sinis. Padahal hati mereka sudah berteriak-teriak, ' Gila tuh anak cakep banget, gue jadi mau secantik dia'. Tentu saja semua ditutupi untuk menjaga imej mereka. Toh, mereka tak kalah cantik. Mungkin, itu yang mereka pikirkan. "Selamat pagi teman-teman, nama saya Alyssa Saufika. Mohon bantuannya" katanya sambil membungkuk. Anak-anak dikelas melongo dan ada yang menyeletuk ' hanya itu saja nona?' dan dijawab dengan anggukan Ify. "Silahkan, ada yang ingin bertanya?" serempak seisi kelas mengangkat tangannya. "Kamu punya prestasi apa?" "Udah punya pacar belum?" "Tinggal dimana? Nomor teleponnya berapa?" "Will you merry me?" Dan, pertanyaan terakhir ditanggapi dengan tatapan tajam seisi kelas. Orang yang ditatap hanya menundukkan kepalanya, mungkin malu. "Aku memenangkan beberapa lomba ataupun olimpiade. Pemenang pertama olimpiade ipa, matematika selama 3 tahun berturut-turut. Meraih juara pertama pemain drama terbaik. Dan, selalu memenangkan lomba musik" jawaban riang Ify membuat anak-anak yang ada dalam kelas berdecak kagum. " Errr... Aku belum punya pacar, dan alamat rumahku itu rahasia dong. Mau tau aja" kata Ify iseng, membuat laki-laki yang ada dikelas pundung. Padahal, mereka sudah menyiapkan kertas dan pulpen untuk menulis alamat serta nomor telepon Ify. Ify sendiri hanya tersenyum gembira melihat dia mendapatkan respon yang bagus di hari pertamanya sekolah. " Ify, kamu boleh duduk di sebelah Shilla. Kamu kenal Shilla, kan?" pertanyaan dari pak Dave dijawab dengan anggukan Ify. Dengan ceria Ify menuju kursi kosong yang ada disebelah Shilla. Shilla hanya dapat tersenyum melihat temannya yang kelewat ceria. Sebagai fans dari band Rio, tentu saja dia mengenal Ify yang kemarin terlihat pucat. Setelah Ify duduk, suasana menjadi canggung. Banyak yang menatap Ify dengan pandangan iri combo sinis. Hei, apa ada yang salah disini? Baru saja Ify duduk, Pak Dave sudah membagikan kertas ulangan yang disertai dengan teriakan histeris saat anak-anak membacanya. Tentunya terkecuali Rio yang tetap ' style cool'', Ray yang mengantuk, Shilla yang tampak semangat mengerjakannya, dan Ify yang sudah hampir selesai mengerjakan 10 soal itu, lho? Gabriel sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Alvin mejenggut rambutnya frustasi. Mereka tampak kepayahan menghadapi soal yang ada didepannya. Wajah frustasi juga terlihat dari anak-anak yang lain. Walaupun ini kelas yang berisikan makhluk-makhluk jenius, tentu saja mereka frustasi melihat soal yang sulitnya itu membuat mati. Melihatnya saja sudah membuat orang merinding. Ify yang selesai paling pertama, hanya mengerjakan dalam 10 menit. Dengan ragu-ragu dia mengumpulkan kertas ulangannya. Pak Dave melihatnya dengan tatapan terkejut. Beliau memeriksa jawaban yang dikerjakan Ify dangan tatapan tidak percaya. " Ify, saya bangga punya murid seperti kamu. Nilai yang sempurna, Ify. Silahkan duduk kembali" kata bu-Vina. Ify mengangguk dan menuju bangkunya. Tatapan tidak suka tambah besar terlebih dari seorang wanita yang duduk disebelah pintu. Matanya seakan ingin menelan Ify bulat-bulat. Jika dibandingkan dengan Ify, sungguh dia sama cantiknya. Dia hanya bisa mengejek dalam hati saat melihat teman-teman yang lain memberikan selamat pada Ify dan memperkenalkan diri masing-masing. Ify, hanya dalam satu hari dia bisa mendapatkan perhatian penuh dari teman-temannya dan guru-gurunya. Sepertinya, gelar primadona harus diberikan pada Ify, bukan kepada sang gadis yang mengutuk Ify dalam hati. " Heh Zahra, ngapain loe ngeliatin Ify? cemburu ya?" tanya gadis yang ada disebelahnya. " Hah? Cemburu? Jangan bercanda Sivia. Apa bagusnya gadis miskin seperti dia? Loe tau? Disekolah ini gue yang paling sempurna. Kaya, cantik dan pintar. Tidak seperti dia yang miskin, dan jelek. Ya,,, walau harus gue akui dia itu lumayan pintar. Tapi, dia tidak selevel ama gue." bentak Zahra dan pergi meninggalkan Sivia yang tersenyum sinis . Rio menatap panggung yang ada didepannya dengan puas. Dekorasi yang indah dan bersih. Dia melihat-lihat teman-temannya yang sibuk memegang alat musik masing-masing. Ozy dan Acha, sepasang insan itu kini terlihat serius. Ozy memainkan drumnya dan Acha mendengarkannya. Setelah permainan drum Ozy berakhir, Acha memeluk Ozy sampai-sampai Ozy sesak nafas. Riko dan Aren tampak tenang berlatih. Aren berlatih menjadi mc, Riko berlatih gitar. Setelah selesai mereka duduk berdekatan dan tampak malu-malu. Toh, lama-lama duduk mereka tambah dekat dan sampai akhirnya kepala Aren bersandar di bahu Riko. Ray tampak tertidur dengan santainya. Susah sih ya jadi orang pinter, kerjaannya tinggal molor abis itu tancap abis deh. Pandangan Rio berkeliling dan menemukan Ify yang sedang sibuk menelepon seseorang. Dahinya berkerut saat melihat Ify tampak panik dan keberatan. Tapi, toh akhirnya dia tetap cuek dan dia berlatih sendiri. Setelah berlatih sendiri-sendiri, waktunya gladi resik. Semua berkumpul didepan panggung. Dua sejoli Ozy-Acha, Riko-Aren, berkumpul sambil bergandengan tangan. Ray tampak malas tapi tetap mendengar arahan dari bu Ira. Rio style cool sambil mendengarkan musik lewat i-pondnya. Band mereka sudah lengkap, dengan Ify yang ditepi sambil menundukkan kepalanya. Selain band mereka, ada anak-anak lain yang menyumbangkan bakatnya. Barisan bubar tanda gladi resik akan segera dimulai. Dengan takut-takut Ify memanggil semuanya berkumpul. Tangannya semakin mengepal. Dia berusaha memantapkan hatinya dan mulai berbicara. " Bo-b-bolehkah aku izin untuk hari ini?" tanya Ify. Mereka yang mendengar terbelalak kaget dan memandang Ify dengan pandangan bingung. " Tidak" Jawab mereka serempak, membuat Ify menjadi ciut. " Please." kata Ify menundukkan kepalanya semakin dalam. " Apa alas an loe?" tanya Ray tajam, membuat anak yang lain heran dengan sikap Ray yang biasanya malas. " Gue... Kurang sehat saat ini" bisik Ify lirih. " Ah... Alasan. Kalau malas bilang aja. Loe itu cuma mau main-main? Dasar gadis cengeng" Zahra membentak dari arah samping. Mana mungkin dia rela melepas penampilan tarinya didepan? Ify mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit yang sudah menjalar. " Ia, Zahra benar! Loe jangan jadi gadis manja Kaya itu. Nggak ada kata istirahat, karena lusa kita harus tampil" bentak senior mewakili semuanya. Satu mata memandangnya sedikit khawatir. Namun, rasa bencinya membuat dia tidak memperdulikannya. Mau tak mau, akhirnya semuanya menyetujui perkataan Zahra. Rio menatap khawatir pada Ify. Ify memandang Rio dan memandangnya dengan tatapan memohon. ' Bagaimana ini?' tanya Rio dalam hati. " Tidak Ify! Loe harus tetap latihan." kata Rio dingin. Ify menunduk dan menutupi wajahnya. Setelah itu, dia tersenyum dan mengangguk semangat. " Ayo teman-teman, kita harus semangat" teriak Ify bersemangat. Yang ada disana bingung dengan perubahan mood Ify yang sangat cepat. Mereka membalas senyum Ify dan bersorak ' Yey' kemudian kosentrasi pada bagiannya. Ify sibuk menahan detak jantungnya yang semakin cepat. Wajahnya sudah sangat pucat. Matanya sudah berkunang-kunang. Setelah dance dari Zahra, giliran band mereka yang tampil. Ify tetap semangat menutupi rasa sakit didadanya. Menyanyikan dua lagu merupakan hal yang cukup berat, apalagi lagunya sangat enerjik. Ya... Walaupun akhir lagunya romantis, tetap saja dua lagu yang pertama sangat menguras tenaga. Ify bernyanyi dan terus bernyanyi. Terkadang, dia melompat-lompat mengikuti Rio yang berubah drastis diatas panggung. Ify terhuyung-huyung kebelakang sambil memegang kepalanya. Tatapan khawatir dilayangkan dari semua anggota band. Namun, Ify masih semangat dan tetap bertahan sampai lagu selesai. Senyuman sinis keluar dari Zahra. Saat mereka akan turun dari panggung, Zahra mencegahnya. " Ulang lagi lagu yang kedua! Ify kurang semangat. Cepat!" teriak Zahra. " Tidak! Loe nggak liat Ify sangat semangat? Lagipula Ify sudah capai." bantah Rio dengan nada yang dingin. " Biar saja, Rio! Kita latihan lagi saja, ok!" Ify menenangkan Rio. Ify tetap keras kepala dan berdiri memegang mic. Nafasnya sudah semakin pendek, namun dia belum menyerah. Kejadian tadi terulang, Ify lompat-lompatan dan bernyanyi dengan semangat. Seringai Zahra berkembang. Ify tampak sangat pucat, nafasnya sudah ngos-ngosan. Ray, Riko, Ozy ada didepannya. Mereka sudah mau turun. Ify tidak berjalan. Ototnya tidak mau bergerak. Rio yang melihat tubuh Ify mulai limbung, menangkapnya sebelum jatuh berdebam kebawah. Dengan gaya bridal style, Rio mengangkatnya dan disambut tatapan khawatir dari yang lainnya. Dengan cekatan Shilla menelepon ibunya dan meminta tolong agar ibunya bisa datang keasramanya. Setelah menunggu lama, akhirnya dokter datang. Ibunya Shilla, dokter Winda terkejut melihat Ify, pasiennya pucat dan demam. Hampir saja dia berteriak kaget. Tapi, dia berhasil mengatasinya dan menyuruh Rio dan Ray membawa Ify kerumah sakit, diikuti seringai sadis Zahra. ' Ify, kau kenapa jadi begini? Kau membuatku bingung. Apa aku harus jujur pada teman-temanmu?' batin dokter Winda cemas. Tentu saja dia cemas. Melihat keadaan Ify yang kritis dan harus merahasiakan bahwa Ify pasien tetapnya. Apalagi ditambah lusa Ify harus manggung. Dengan berat hati, dia memutuskan. ' Kau harus dirawat dan diberhentikan dari tugas luar, Ify' batinnya sedih.
Normal POV Dikamar inap Ify, tampak Rio, Ray, Gabriel, Alvin, Shilla, dan Sivia mengelilingi tempat tidur Ify. Raut cemas tak lepas dari wajah mereka. Bahkan, Rio yang biasanya cuek kini hanya bisa menundukkan wajahnya. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. ' Rio, loe udah melihatnya pucat. Dia sudah meminta izin padamu. loe yang salah atas semua ini.' batin Rio mulai kacau. Tapi, dia tetap berwajah dingin. Tak lama kemudian, tangan Ify bergerak, membuat suasana mulai mencair. Shilla mendekati Ify dan tersenyum saat mata Ify mulai terbuka. Wajah pucatnya kini lebih berwarna. Dia menatap bingung sekelilingnya, mencoba mencari keluarganya. Namun, dia harus menunduk sedih saat menyadari bahwa keluarganya tidak perduli lagi padanya. Senyum pahit menghias wajah sayunya. Dia mencoba duduk dan dibantu Rio dengan sukarela. " Maaf…" desisnya. " looe nggak perlu minta maaf. Besok, loe nggak usah ikut manggung juga nggak masalah. Perhatiin dulu kesehatan loe. loe ngebuat kami khawatir." kata-kata itu terlontar halus dari mulut Rio. Teman-temannya memandang tidak percaya. Jarang sekali Rio berkata lembut. Tapi, seseorang bisa berubah, kan? " Maaf, membuat kalian khawatir." desis Ify lagi. " Tidak masalah. Untung Ibuku mau membantu" kata Shilla ceria. Tak lama kemudian, datanglah dokter Winda. Dia tersenyum dan mengusap kepala Shilla pelan. " Shilla, tolong ajak teman-temanmu keluar. Ibu mau bicara sama temanmu ini" Shilla mengangguk dan mengajak teman-temannya keluar. Rio, sebelum keluar memandang Ify dengan pandangan 'istirahat-ya!' tapi, tetap dengan raut wajah yang terkekeh pelan melihat temannya yang satu ini. Kini, hanya tinggal Ify dan dokter Winda yang ada dalam ruangan berbau obat itu. Ify hanya bisa nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan sang dokter hanya bisa menghela nafas pasrah. " Alyssa Saufika UmariSindunata!" kata dokter Winda dengan nada yang sangat ditekan. Ify yang mendengarnya merinding dan merubah raut wajahnya menjadi dingin. " Berapa lama lagi? Hah? Kau sudah tau, aku kini sedang bersandiwara? Namaku Alyssa Saufika. Bukan Alyssa Saufika UmariSindunata. Jadi, saya harap anda bisa menjaga rahasia nona Winda" desis Ify. " Waktumu masih cukup. Kita berharap begitu. Dan aku akan menghargai percakapan ini jika kau menghapus anda dan saya. Kenapa kau tidak terapi? Kau malah ngeband?" " Shilla anakmu ya?" " Kau anak kecil. Belajarlah sopan santun. Dan jangan mengalihkan pembicaraan ini" bentak Dokter Winda " Dan kau harus keluar dari asrama dan menjalankan pengobatan. Keluar dari bandmu juga sangat dibutuhkan" lanjutnya " Dokter. Aku mohon sekali lagi. Aku ingin merasakan hidup bebas. Dan saya mohon dokter tinggalkan saya dulu dan jaga rahasia ini" Sang dokter mendengus kencang dan mengangguk. Mau apalagi? Anak keras kepala memang sulit diberi tahu. Ify menundukkan kepalanya dan menangis. Mengalunkan sebuah nada, menyanyikan puisi hatinya dalam tangis... Aku... Hanya gadis kecil yang lemah. Hanya gadis kecil yang rapuh dan butuh kasih sayang. Dikala umurku menyempit, hanya senyum yang kuberi. Bukan hal yang berharga. Namun apa lagi yang dapat aku berikan? Maaf, mungkin tidak dapat mengobati segalanya. Atas kebohonganku dengan segalanya yang ada. Namun, apakah kata cinta bisa keluar dan menghampiri hati ini? Alvin masuk dan memandang tajam pada Ify. Tak sepatah katapun yang diucapkannya. Hanya memandang Ify tajam yang berarti dia sangat membencinya. " Kau kenapa lagi? Sakit? Makanya, lebih baik kau keluar saja dari band ini dan beristirahat. Atau loe ngurus pekerjaan rumah tangga menggantikan ibu" kata Alvin. Nada bicaranya terdengat barbahaya. " Kakak…" " Sudahlah! Udah gue bilang, kalo loe masuk asrama yang sama ama gue, loe jangan manggil gue kakak! Karena, gue nggak merasa gue ini kakak loe" Alvin tersenyum pahit. " Kakak masih nyalahin aku atas kematian ibu? Bukan aku yang membunuhnya. Kanapa kakak tidak percaya padaku?" tanya Ify dengan nada lirih. " Karena loe, adalah seorang Alyssa Saufika UmariSindunata. Oh ia, sekarang kau Alyssa Saufika" " Kakak boleh melakukan apapun. Tapi, tolong jangan bongkar rahasia ini" kata Ify dengan pandangan memelas. " Tentu saja. Karena drama bodohmu ini bukan urusanku" Alvin keluar begitu saja. Meninggalkan Ify yang terisak pelan didalam kamar inapnya. " Aku… Ingin menemui ibu aja…" desis Ify.
Alvin masuk rumah tanpa mengetuk pintu. Matanya mencari keberadaan sang ayah. Wajahnya yang tanpa ekspresi memandang ayahnya yang sedang berdiskusi dengan adiknya yang paling kecil, Deva. ' Merepotkan…' batinnya dalam hati " Ayah" panggil Alvin yang dibalas dengan tatapan lembut ayahnya. " Ify masuk rumah sakit" perkataan Alvin dibalas oleh tatapan tajam. " Keadaannya baik. Aku sudah menjenguknya" terang Alvin. Ayahnya memandang koran kembali. " Apa ayah tidak menjenguknya?" tegas Alvin " Tidak perlu. Terlalu merepotkan dan sangat menyusahkan. Kau sudah menjenguk berarti aku juga." Wajah datarnya mengangguk maklum saat mendengar nada bicara ayahnya saat membicarakan Ify. Dia berjalan menuju kamarnya yang ada diatas. Langkahnya terhenti saat melihat kamar Ify. Tangannya bergerak ingin membuka pintu itu. Namun, rasa benci menyelimutinya dan dia kembali menarik tangannya. Langkah beratnya berhenti saat melihat kamarnya berantakan. Kamar khas laki-laki.
Dia merebahkan dirinya diatas kasurnya. Matanya menerawang jauh keatas. Pandangan matanya kosong. Dia melirik foto keluarganya yang baru dipajang. Hanya ada dia, ayahnya dan Deva. Tidak ada Ify dan ibunya. Saat mengingat ibunya, dia akan merasa sangat membenci Ify. " Gue nggak tahu dia bersalah atau tidak" Katanya sambil memegang salah satu foto yang memuat foto ibunya. " Tapi, dia ada disana saat ibu nyaris meninggal. Karena itu gue membencinya. Namun, entah kenapa hati kecil gue ini berkata bkalau sikap gue padanya salah" Alvin menutup matanya. " Dan kini, gue terluka melihatnya sakit seperti tadi. Gue.. nggak tau apa yang harus gue lakuin. Membelanya, atau menjauhinya seperti ayah dan Deva" desisnya dan dia tenggelam dalam mimpinya
Ify menangis kecil. Rasanya saat melihat kakaknya seperti itu, sakit. Entah kenapa dada ini rasanya sesak melihat tatapan tajam yang seakan memojokkannya. Entah kenapa dia ingin menangis sekerasnya dan menemui sang ibu. Tapi, tak urung juga hatinya ingin berada disini. Entah mengapa, dia ingin membuktikan pada semuanya dia tidak salah. Dia ingin membuktikan bahwa dia tidak lemah. Dia ingin menggapai cita-citanya yang menunggu disana. Air matanya menetes lagi. Entah kenapa dengan mengingat ibunya, segala sesuatu terasa pahit. Entah mengapa kini kehidupannya hancur. Terkadang dia berfikir, apa salahnya? Dia menutup matanya perlahan, berusaha meresapi sakit yang menjadi langganannya saat tatapan dingin itu mengarah padanya. Dia tertawa kecil saat mendengar komentar teman-temannya dulu. Dia iri saat melihat kebahagiaan ditengah kesederhanaan. Dia menjadi sangat terpuruk saat mengetahui bahwa sebenarnya dia selalu dikhianati. Topeng. Sekarang dia memakai topeng yang membuatnya tampak berubah. Kemampuan dia ber akting memang sangat bagus. Dia telah membentuk topeng yang tidak diketahui oleh siapapun. Topeng dengan wajah ceria yang terlihat kuat. Topeng yang terlihat bahwa dia manusia tanpa beban. Padahal, saat kau buka topeng itu, kau akan tau berapa banyak beban yang menumpuk dalam pikirannya. Betapa sepi dunianya. Tangannya membuka diary kecilnya dan kembali menulis apa yang dirasanya. Tinta oranye terlihat cantik saat dipadukan dengan tulisannya. Dengan perlahan, dia membaca kembali tulisannya. Dan tersenyum perih. Dia menutup matanya perlahan dan jatuh dialam mimpi dalam sekejap.
Aku gadis kecil yang menunggu waktu... Aku gadis kecil yang menunggu datangnya kasih sayang... Aku mempunyai seorang ayah yang mengacuhkanku... Aku mempunyai seorang ibu yang meninggalkanku... Aku mempunyai seorang kakak yang tidak perduli padaku... Aku mempunyai seorang adik yang selalu bahagia daripada aku... Hanya pinta yang tulus kuucap... Aku butuh kasih sayang... Apa itu salah?
Kini, entah mengapa dia tidak bisa tertidur. Gelisah membuat hatinya menjadi berat. Ify membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Dia melihat infus yang menempel erat. Dia membuka infus itu dan merapikan bajunya. Dia melangkah menuju asrama karena hari sudah malam. Walaupun masih sakit, ada cita-cita yang harus dipenuhi. Setelah yakin aman, dia keluar rumah sakit dan menaiki taksi menuju asramanya. Rasanya, tak sabar bertemu teman-teman yang lain. Setelah sampai ditempat tujuan, dia menuju kamarnya dan berganti baju. Wajah pucatnya kini sudah lebih berwarna. Dengan ceria dia menuju ruang latihan dan mengintip. Senang rasanya melihat teman-temannya ada didalam. Semuanya lengkap. Dengan langkah mantap dia memasuki ruangan itu. Serempak semua yang ada didalam menolehkan kepalanya menghadap Ify. Raut heran tampak nyata diwajah mereka. " HEI SEMUA" teriak Ify kegirangan. Tanpa aba-aba, dia mendudukkan dirinya disebelah Alvin yang terlihat baru sampai. Alvin cuek melihat adiknya duduk dan memulai penyamarannya. " Loe dengan mudahnya melupakan kejadian tadi, heh?" Tanya Alvin dan sukses membuat Ify menegang. Namun, perlahan Ify kembali rileks dan duduk dengan santai. BLETAK Sepatu butut dengan sukses menyenggol kepala Alvin dan membuat gunung kecil dikepala cowo itu. Ify yang melihatnya ngakak sampai guling-gulingan dilantai. Sepertinya, dia benar-benar sangat sempurna memakai topengnya. Rio menahan tawanya. Tapi, sepertinya tidak bisa. Dia ikut-ikutan Ify guling-gulingan dilantai. Ray tertawa dan tersedak pop corn. Shilla tak kalah heboh. Dia ketawa sambil geleng-geleng kepala dan akhirnya kepalanya menyenggol kepala Sivia. Mereka berdua ketawa sambil menahan sakit dikedua sisi. Perut dan kepala. Gabriel menghela nafas pasrah saat menyadari hanya dia orang yang paling normal. Entah kenapa keceriaan itu lenyap saat mereka melihat Ify yang sibuk melihat wajah Rio. Rio yang merasa diliatin langsung berhenti ketawa dan memandang heran Ify, tentunya diikuti lainnya. " Rio bisa ketawa ya?" Tanya Ify dengan tampang tak berdosa " Tentu saja, bodoh! gue ini juga manusia" Kata Rio kesal. Ify menganggukan kepalanya paham. Tapi kemudian senyum kecil terlihat diwajahnya. Dengan tampang polos yang tak berdosa, Ify memandangi Rio. Sambil tersenyum dia menoel-noel kepala Rio. " Oh... loe manusia ya? gue kira loe alien dari planet mars" " Dasar bodoh !" geram Rio. " Sudahlah kalian! Jangan bertengkar lagi!" Lerai Shilla sambil terkikik geli. " Ia. Rio, Ify, jangan berantem lagi ya. Kalian tampak serasi kalau berantem. Hahaha" Goda Ray. " Dan kalian tampak serasi saat menggoda Rio dan Ify" Canda Gabriel. " Ia,,, serasi sekali" Sivia ikut-ikutan " Begitu pula kalian" kata Alvin datar. Rio-Ify masih menguji tatapan mematikan mereka. Ray-Shilla menunduk malu-malu. Gabriel-Sivia berusaha menyembunyikan rona merah yang datang tiba-tiba. " Dari pada loe, Alvin. nggak punya pasangan" desis Ray-Shilla-Gabriel-Sivia berbarengan seakan mereka mempunyai hati yang sama. " Hei! Kalian kira kami berpasangan?" gerutu Rio. " Sudahlah! Kalian tampak seperti anak kecil. Apakah kita mulai saja rapat ini? Kalian tau? Aku ngantuk sekali." Ify menggembungkan pipinya, pertanda dia kesal. " loe jelek kaya gitu,,, Ify" nasehat Shilla. Ify hanya bisa mendengus kesal. Dia melirik Rio yang memandangnya dengan seksama. Ruangan itu masih tetap sepi. Namun, Ify memecahkan sunyi itu dengan tepuk tangan pelan. " Bagaimana besok? gue tetap tampil, kan?" tanya Ify dengan tatapan memelas. Yang lainnya memandang Ify sekilas dan tampak berfikir. Sesaat mereka menggeleng, kemudian mengangguk, dan yang terakhir mengangkat bahunya tanda tidak tau. Rio berdiri dan mengambil mic. Dia menatap teman-temannya yang lain dengan tatapan yang sangat sulut diartikan. " Ayo kita latihan! Kita mau tampil besok, kan?" tanyanya sambil memandang Ify penuh arti. " Yey... gue boleh ikutan" Ify melompat kegirangan saat menyadari arti tatapan Rio. " Jadi, mau lagu apa sih? Tadi kita rencanain nyanyi apa ya?" tanya Ify sambil nyengir. Rio dan kawan-kawan memandanginya tak percaya. ' Apakah Ify mengalami penuaan dini?' melupakan pertanyaan dibenak mereka, tentunya minus Alvin. " Sahabat jadi Cinta sama Beraksi. Kamu lupa?" Tanya Shilla. Ify mangut-mangut mengerti dan mengambil posisi dengan semangat yang berlebihan. Sikap Ify itu membuat teman-temannya menggeleng dan menghela nafas pasrah. Latihan kali ini hanya sebentar karena Ify sudah bisa menguasai semuanya dengan baik. Bahkan, saking semangatnya, dia hampir saja melompat dari atas panggung yang dibawahnya ada kaktus. Ckckckck...
Sekarang, studio kecil-kecilan mereka sudah kosong. Mereka sudah berjalan menuju kamar mereka masing-masing. Entah takdir atau apapun namanya, mereka... Seperti berpasangan. Ify dan Rio berjalan sambil meledek yang mulai menjadi kebiasaan baru mereka. Dan lama-lama Ify yang kesal akan menendang tulang kering Rio dan menjitak kepalanya saat Rio menunduk. Sepertinya teman-teman yang lain harus terbiasa mendengar suara berisik untuk selanjutnya. Senyuman Ify lenyap saat dia masuk kamar. Tatapannya berubah menjadi sendu. Dia mengambil album foto dan melihat isinya. Sesaat dia tertawa, kemudian dia menangis. Siapapun tidak akan bisa menyalahkannya. Bagaimana jika kau yang berada diposisinya? Tidak diakui oleh ayahmu, dibandingkan oleh kakak dan adikmu, dan hidup yang singkat? Ify medekati pianonya, menyentuh tutsnya. Nada mengalun begitu saja, bagai meneriakkan jeritan hatinya. Sesekali dia memandang foto ibunya. Permainannya berhenti saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dia bergegas menghapus air mata dan berlari menuju tempat tidur. Sebelum menutup kepalanya dengan selimut, dia berteriak kencang. " Aku sudah tidur" katanya sambil merapatkan selimutnya. Sepontan saja orang yang mengetuk pintu itu terkikik geli. " Kau kira aku bodoh? Buka pintunya nona !" Dengan langkah gontai Ify membuka pintunya dan sedikit mengeluh melihat kakaknya ada didepannya. " Ada perlu apa?" Tanya Ify. " loe dimarahin ayah karna loe nggak datang Rapat lagi. Dasar, merepotkan!Dan jelas aja gue nggak bodoh kaya loe. Kalau loe udah tidur, ngapain loe ngejawab panggilan gue?" seringai berkembang dibibir Alvin. Ify memandang kedalam kamarnya, memberi isyarat agar kakaknya cepat masuk agar tidak ketahuan yang lainnya. Dengan gaya detektif, Ify melirik kanan-kiri dan menutup pintu saat dia mengira sudah aman. Senyuman yang biasa terpajang diwajah cantiknya kini hilang, wajahnya menjadi kosong, tatapan matanya hampa. " Pintar amat loe ber akting" puji Alvin. Ify membuang muka dan menatap bulan yang ada diluar. Bintang berkelap-kelip di langit. Senyum lembut menghiasi wajahnya. " Apa itu urusan anda?" Tanyanya sambil menatap pintu. Senyuman sinis tergantung diwajahnya. " loe Ify, bias nggak sih loe bertingkah sebagai adik dan berhenti dalam skenario bodoh loe itu?" Tanya Alvin sambil melempar bantal dan tepat mengenai wajah Ify. " Sudahlah. Gue udah ngantuk. Besok kita harus tampil, kan?" Ify dengan seenaknya mendorong kakaknya keluar kamar. 'Setidaknya biarkan aku istirahat dari tekanan ini terus' batin Ify miris. Dengan tatapan mata tajam yang ditunjukkan pada Ify, akhirnya Alvin keluar kamar. Dia kembali merasakan dua rasa itu. Kasihan dan benci. Namun, menurutnya itu terlalu merepotkan. Dan kemudian, dia kembali kekamarnya yang berada disebelah kamar Ify.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar